Jumat, 30 Desember 2011

Siswa Diadili Gara-gara Sandal Jepit

Hukum di Indonesia seakan tidak memihak pada keadilan. Siapa yang kuat punya kesempatan besar untuk menang, apalagi oknum polisi yang semestinya menegakkan hukum justru memanfaatkan kekuasaannya ketika terjepit gara-gara kasus penganiayaan yang dilakukannya kepada seorang siswa SMK.

Foto: kompas.com/Reny Sri Ayu

Setidaknya hal itu dialami AAL, seorang pelajar SMK Negeri 3 Kota Palu, Sulawesi Tengah, siswa berusaia 15 tahun ini harus diadili di Pengadilan Negeri Palu.

Dia diadili atas laporan seorang anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah Briptu AR dengan tuduhan mencuri sepasang sandal jepit butut pada November 2010.

Sidang perdana digelar Selasa (20/12) dipimpin hakim tunggal Rommel F Tampubolon dengan jaksa penuntut umum Naseh. Jaksa mendakwa AAL melanggar Pasal 362 KUHPidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Kisah AAL yang dituduh mencuri sandal jepit hingga diadili di pengadilan dengan didampingi 15 pengacara diulas dengan gamblang di laman kompas.com.

Pada laman itu disebutkan bahwa AAL menemukan sepasang sandal jepit putih kusam merek Ando pada November 2010, saat ia masih berumur 14 tahun, saat pulang sekolah dari SMPN 9 Palu.

AAL yang tinggal di Jalan Kijang II Utara, dan teman-temannya setiap hari melintas di rumah kos di Jalan Zebra IA, tempat Briptu AR menyewa salah satu kamar, berjarak sekitar 200 meter dengan rumah kos tersebut.

Saat itu, AAL melihat sepasang sandal jepit di pinggir jalan, bukan di depan kamar Briptu AR atau bukan pula dalam pagar. Setidaknya, gambaran ini tampak saat wartawan meminta AAL menunjukkan tempat penemuan sandal. Lokasi penemuan sandal dengan kamar Briput AR terpaut jarak sekitar 25 meter.

Setelah penemuan sandal itu, tepatnya pada 27 Mei 2011, AAL dan dua temannya kembali melewati jalan depan rumah kos AR dan dipanggil oleh polisi berpangkat Briptu itu seraya menanyakan soal sandal jepit merek eiger yang hilang.

”Kira-kira sudah 15 meter melewati rumahnya pak polisi itu, torang dipanggil. Dia tanya soal sandalnya merek Eiger yang katanya hilang, lalu kami jawab tidak tahu,” tutur AAL seperti dikutip kompas.com.

Menurut AAL, walau tak mengaku, AR tetap mencecar pertanyaan soal sandal itu, bahkan disertai pemukulan. Tak puas hanya mendapat jawaban tidak tahu, AR menelepon temannya di Polda, yakni Simson dan Zul, dan meminta mereka datang dan ikut mencecar pertanyaan.

”Karena terdesak dan tidak kuat dipukul, saya akhirnya bilang pernah dapat sandal Ando di pinggir jalan,” kata AAL.

AAL diminta mengambilnya sekaligus melapor kepada orang tuanya. Orang tua AAL panik saat anaknya pulang tengah malam dengan diantar polisi dengan tuduhan mencuri.

”Karena anak saya mau dibawa ke kantor polisi, dan saya sudah panik, saya bilang, mau anak saya yang ambil atau bukan, tetap akan saya ganti sandal yang mereka cari. Saat itu, saya diminta mengganti tiga pasang sandal Eiger seharga Rp 85.000 per pasang," kata Ebert, ayah AAL.

Saat mau pulang, saya tanya, bagaimana dengan sandal Ando itu. Dijawab AR, itu bukan miliknya, tetapi dia minta tetap disimpan dengan alasan akan dicari siapa pemiliknya,” lanjutnya Ebert.

Janggal

Untuk malam itu, persoalan usai, dengan perjanjian Ebert akan membawa tiga pasang sandal keesokan harinya. Namun, saat tiba di rumah, barulah Ebert dan Rosmin melihat kaki anaknya berdarah dan sebagian tubuhnya lebam.

Saat itulah AAL baru mengaku bahwa dia dipukuli. Niat damai untuk mengganti sandal yang belum jelas dicuri anaknya atau bukan seketika berubah. Esok hari, Ebert—pegawai Kesbang Linmas Provinsi Sulteng—tak membeli sandal, tetapi membawa anaknya untuk divisum dan selanjutnya melapor ke Propam Polda Sulteng.

Mengetahui Ebert melapor ke Propam, AR sempat meminta laporan itu dicabut. Namun, Ebert mempertahankan sikap. Diduga, laporan itu yang membuat Briptu AR membawa kasus ini ke meja hijau. Dia sudah menjalani beberapa kali sidang untuk kasus penganiayaan anak di bawah umur yang salah satu sidangnya menghadirkan Ebert dan AAL sebagai saksi. Hingga kini, belum ada putusan untuk kasus ini.

Dalam fakta persidangan, ada beberapa kejanggalan soal sandal jepit yang menyeret AAL ke meja hijau. Kendati pada awalnya mencari sandal merek Eiger yang hilang dan meminta diganti dengan sandal bermerek sama, bernomor 43, toh yang jadi barang bukti di pengadilan adalah sandal merek Ando bernomor 9,5. Tak ada satu pun saksi yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar AR.

Dalam sidang, saat hakim Rommel F Tampubolon dan sejumlah pengacara AAL bertanya, bagaimana AR yakin itu sandal miliknya, AR menjawab, ”Saya ada kontak batin saat melihat sandal itu.” Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Briptu AR yang besar.

”Kami sangat prihatin dengan kasus ini. Kami sedih mengapa kasus sandal jepit yang harganya tidak seberapa dan melibatkan anak di bawah umur yang belum tentu bersalah harus sampai ke pengadilan. Kami juga akan memperkarakan ke pengadilan umum soal penganiayaan yang dialami klien kami,” kata Syahrir Zakaria, salah seorang pengacara AAL. (Reny Sri Ayu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar